wa ode wulan ratna

 
Sang Waktu
Halaman Wulan
| KUMPULAN CERPEN |
| KEMBANG PUISI |
Pesan Anda
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x
Daftar Pengunjung
Hak Cipta
Hak cipta naskah dalam blog ini ada pada Wa Ode Wulan Ratna. Permintaan naskah harap menghubungi penulis melalui email: dess_patra@yahoo.com
La Runduma
Tuesday, April 3, 2007
Cerpen Wa Ode Wulan Ratna

Aku masih perawan. Sungguh. Aku masih perawan! Tapi mengapa gendang itu bisa pecah, Ayah?

Lelaki itu ayahku. Namanya Maulidun. Sudah hampir 20 tahun ia menjadi pawang penabuh gendang pilihan pada tiap posuo. Aku membencinya, sebab ia tak menyukai La Runduma, lelaki yang tak bisa pergi dari hatiku.

La Runduma bukanlah lelaki rupawan, dan hanya pekerja serabutan. Sebab itu ayahku tak suka padanya. Sebab lainnya, ia menginginkan aku menikah dengan laki-laki yang sederajat. Untuk itulah aku ikut ritual adat ini.

Semua orang Buton percaya, termasuk aku, putri Buton sejati, bahwa posuo adalah ritual bagi anak gadis untuk menjadikannya dewasa dan mampu mengurus rumah tangga. Acara pingitan yang menyeramkan ini menempatkanku dan tujuh gadis lainnya dalam suo yang pengap dan lembab tanpa penerangan cahaya apapun. Sungguh suatu pingitan yang aneh dan aku melakukannya karena ayah.

Usai berjalan jauh dari Keraton Buton, tibalah kami di Gunung Nona. Tempat itu tampak sepi dinaungi perkebunan langsat dan kecapi. Aku tahu, di sinilah aku akan memulai dahagaku. Ah Run, ke manakah ruh usai ia luruh? Aku mencabik-cabik sepi dengan meremas-remas ujung jemari kedua tanganku. Sungguh menyedihkan, pada malam-malam nanti segala kelam menjadi begitu panjang seperti tanpa ujung dan kesunyian pingsan di tengah hutan. Aku hanya bisa menunggu kapan nasib berbalik arah dan menempatkanku pada posisi yang kuinginkan.

Kami berjalan berarak, diiringi gendang dan mauludan. Di sana, pada salah satu penabuh gendang itu, mata ayah berkilat memberi isyarat agar aku tidak macam-macam. Kami pun masuk ke tengah perkebunan rimbun dan menemukan sebuah rumah. Rumah tempat kami akan menghuninya dengan kengerian selama delapan hari. Run, jangan lupa jemput aku sebelum aku dimandikan air cempaka.

Asap dupa menyapu seluruh tubuhku. Itulah sesi pauncura, sesi pertama untuk mengukuhkanku menjadi peserta posuo. Parika berdecap-decap melafalkan doa. Dan, ayahku, bergerak lamban menyentuh gelas. Mereguk isinya yang menuntaskan dahaga. Matanya pijar menyalibku. Apakah kau ingat pertengkaran kita pada hari-hari sebelumnya, Ayah?

"La Runduma itu bajingan, Johra. Percayalah pada bapakmu yang tua ini. Aku ini orang pintar. Banyak ilmu telah kupelajari. Dan La Runduma hanyalah bajingan sejati." Ah, hatiku, Run, betapa merahnya terbakar oleh kata-kata ayah.

Malam kasip. Gendang itu masih ditabuh di kejauhan membuat bunyi-bunyi berlindung di belakang pukulannya. Usai kami menangis dan mendapat sesuap nasi putih kutemukan mata yang lain bersinar seperti lentera di dalam kamarku. Mata seorang gadis.

"Kau tak suka ikut posuo?" katanya berbisik.
"Aku tak suka menangis dengan cara dicubiti oleh bhisa."
"Sssttt...." Seru suara yang lain. Kami berdiaman cukup lama. Dalam
suo itu hanya ada empat gadis. Empat gadis lainnya berada di suo yang lain.

"Kau mau menikah?" tanya Riwa kembali.
"Sebenarnya aku tak mau. Tapi ayahku mau aku menikah."
"Kau anak baik."
"Tidak, Riwa. Aku hanya pura-pura menjadi anak baik, sebab ritual ini membuatku bertambah menjadi kanak-kanak dibanding menjadi dewasa."
"Sssttt..., diamlah! Kalian tahu, telinga bhisa ada di mana-mana."
Akhirnya kami diam. Waktu seakan tak berputar. Aku tak dapat menebak dunia luar. Betapa dunia kini menjadi begitu kelam dan aku seakan berada di alam yang tidak kupahami dan mengasingkan diri dariku.
Letak tidur kami dengan kepala di utara dan kaki di selatan membuat aku tak dapat melihat ke arah jendela. Hanya tembok tebal yang menghalangi kebebasan kami meski imaji kami tetap saja berkeliaran seperti binatang buas di luar. Ia menembus malam yang pekat, berlari-lari menyusuri hutan. Run, tak ada kertas. Tapi aku menulisimu di setiap jengkal langkahku. Sudah lima hari aku bersama sepi. Telah kuketahui dari bisu semua teman-temanku yang ikut terjerat pada upacara ini. Dan, Riwa adalah seorang gadis jelita yang dengan sepenuh hati mencintai adat ini. Run, hatiku gelisah. Apakah kau akan datang memenuhi janjimu?
Malam ini aku akan tidur menghadap matahari terbit, sebab hari ini adalah hari keenam. Aku akan dapat melirik jendela. Adakah bayangmu di sana?

Malam lindap. Siapakah di antara kami yang keluar malam-malam berjingkrak dengan hati-hati menembusi sunyi? Mataku menatap keluar jendela. Tak ada bulan yang membiaskan bayangan. Gelap itu gulita. Tapi di sana, aku dengar, selain tabuhan gendang-gendang itu, ada nafas dan bau perempuan dan lelaki memadu cinta karena rindu dan cemburu.

Aku bangkit perlahan dari tapaku. Berharap tak ada mata yang terjaga. Kuraba-raba malam mencari pegangan. Pada satu sisi di balik kamar mandi. Bau mesum berhembus seperti bau pesing. Bau itu sungguh menyengat sehingga membuat kepalaku pening. Aku mafhum pada zaman ini. Tapi siapakah dua orang muda yang berkasih-kasih itu? Mungkin aku cemburu, sebab kau belum datang dan membawaku pergi dari acara yang akan membuatku menyesal seumur hidupku.

Aku menangis dibalik jeruji kamar itu. Berbalik ke suo dan membenamkan segukku. Hutan di luar begitu rindang dibuai angin malam. Mungkin saja ada halimun yang melamun di pucuk pohon atau babi hutan mengais-ngais mencari sisa rezeki. Di selangkangan malam itu aku menganga. Malam putih bagi para perawan yang dikunci. Ayah, titahmu koyak. Besok pagi kutahu kau diam-diam membisikkan suatu rahasia kepada kepala keluarga yang menitipkan anaknya dalam ritual ini, "Gendangku pecah semalam. Di antara mereka pasti ada yang sudah tak perawan."

Riwa memakan nasi putih itu. Ia tersenyum menatapku yang sedang menatapnya. Matanya seperti kejora, begitu bersinar. Dan ia bergairah dalam sarungnya, mengikuti setiap ritual dengan syahdu. Para bhisa bernyanyi, melantunkan tembang tentang pembinaan fisik dan mental spiritual. Mereka melontarkan petuah-petuah etika dan keindahan, serta profil-profil pribadi gadis dewasa yang masyhur. Mereka mengajari cara pebhaho dengan air khusus yang berasal dari delapan sumber air khusus dan diambil secara khusus pula. Mereka juga mengajari cara pukundel dengan santan serta mengajari cara melulur tubuh dengan kunyit dicampur tepung beras.

Menurutku posuo juga seperti sekolah kepribadian. Mungkin itu satu nilai yang aku suka selain nilai tanpa mengeluarkan dana yang banyak serta tak perlu bertahun-tahun kursus kepribadian. Aku belajar bagaimana cara duduk perempuan, gaya berjalan, bahkan sampai pakole. Aku perhatikan Riwa. Gadis itu begitu lugu dan menurut. Ia senang semua acara posuo. Apakah semalam aku bermimpi, Run. Ada seorang gadis bersama kekasihnya di kamar mandi, memendam rasa dan suara? Hatiku berdegupan dengan gilanya. Siapakah di antara kami yang berbuat? Ya, tentunya selain aku dan Riwa. Apakah Nila? Apakah Endah? Aku jarang bercakap dengan mereka, sebab mereka terlalu dewasa dan terlalu serius dengan upacara.

Aku tak mau tahu, tapi sore itu parika, para bhisa, dan para penabuh gendang berkumpul di halaman. Aku tahu, gendang ayah memang pecah semalam. Dan, sekarang mereka sedang bermusyawarah. Menerka-nerka siapa gerangan yang menodai malam. Mungkin semua kepala keluarga telah bersumpah kalau anak gadisnya masih perawan. Apakah ayah juga bersumpah? Ia tidak mempercayaiku.
Aku mangkat. Mengangkat kaki diam-diam. Menempelkan telingaku pada dinding tebal dan dingin. Namun, yang terdengar hanya suara angin. "Psst, apa yang kau lakukan?" bisik Nila.
"Aku Johra. Mengapa mereka ada di luar?"
"Jangan Johra, tidurlah! Nanti mereka mendengarmu dan kau akan dihukum." Riwa memberi saran.
"Apakah kau tahu kalau gendang ayahku pecah?"
"Masa? Kapan pecah? Sudah berapa kali?" Nila tampak sedikit terkejut. Ia hampir terlonjak dalam baringannya.
"Aku tak tahu pasti. Mungkin semalam pecah dan pecah lagi malam ini."
"Sssttt...."
"Sudah, diamlah. Biarkan mereka berembuk." Ujar Riwa lagi. Dengan ragu, aku pun kembali ke samping Riwa. Membaringkan tubuhku dan berusaha mengatupkan mata.
"Riwa, apakah kau sudah tidur?" lama ia baru menjawab,
"Belum."
"Semalam aku..., ah... sudahlah."
"Ya, sudahlah. Itu bukan urusan kita. Jangan rusak pingitan yang tinggal sehari lagi."
Usai ia ucapkan itu aku tak pernah mendengar kata apa-apa lagi dari bibirnya.

Mataku terpancang tajam menerawang menerobosi rindu dan hati yang meradang. Aku bergulat pada malam-malam tanpa ujung. Aku mati kutu dipites waktu. Kutelanjangi segala kenangan, raut wajah ayah dan La Runduma. Kisahku dengan La Runduma adalah kisahku yang berlari-lari di tengah padang. Cinta birawa yang sedap dalam penciuman ingatan. Betapa pemuda itu begitu bersahaja, menyentuh pipiku seperti menyentuh satin yang halus.

"Johra, aku cinta padamu. Suatu malam di akhir posuo kan kularikan engkau bak pengantin baru." Saat itu aku tersenyum malu-malu. Hatiku miris. Ayahku adalah satu-satunya orangtua yang kupunya, yang kucinta. Tapi aku terlampau mencintai La Runduma.
"Kau mengajakku kawin lari?" tanyaku saat itu.
"Kau marah kalau kita melakukan pinola suako?"
Run, semalam temanku sudah memenuhi hasratnya. Aku tahu ia juga merasakan hal yang sama dan terjerat dengan masalah yang sama denganku. Bagaimana? Jadi besok kau datang?

Saya sudah tahu. Hatinya untuk yang lain. Apalah artinya perawan, Tuhan? Di balik cinta memang ada pengorbanan meski itu haram karena dilarang agama. Tapi Tuhan, saya akan menikah dengan lain pria. Sebab pria yang semalam menancapkan cintanya di hatiku butuh kekasihnya selalu perawan. "Malam sekali kau datang, Run. Hampir subuh."
"Ya, aku tunggu bintang-bintang tidur."
"Tuhan sudah tidur?"
"Aku harap begitu."
"Seperti cinta, Tuhan selalu terjaga, Run."
"Mmm...."
"Aku cinta padamu, Run."
"Aku tidak. Maafkan aku."
"Kalau begitu kenapa kau datang?"
"Sebab aku kasihan padamu."
"Lalu?"
"Aku ingin menghormati dan menghargai cintamu seperti yang kau inginkan." "Ah, kau batu! Hatimu hanya lapuk olehnya."
"Dia sudah tidur?"
"Ya. Sudah, jangan bicarakan dia lagi!"

Perempuan-perempuan yang telah dibabtis menjadi dewasa itu mulai mengantri untuk dimandikan. Wadah air berupa buyung yang terbuat dari tanah liat itu ada yang berisi bunga cempaka. Suatu wadah yang lain yang dikhususkan bagi mereka yang akan menikah.
Aku menemu, berbaris diantrian yang paling belakang. Para bhisa mendoa-doa, tabuhan gendang tampak berat sebab ada satu gendang yang pecah. Para gadis yang telah dimandikan akan didandani dan akan menggunakan busana eja kolembe. Tiba-tiba kulihat mata Riwa dengan binar kebahagiaannya. Betapa ia menjalankan adat ini sepenuh hati. Aku ingat, suatu saat ia pernah berbisik padaku saat aku sedang melamun, "Apa yang kau pikirkan, Johra?" Aku tak menyahut.
"Apakah kau merasa terkurung di sini dan ingin melarikan diri?"
"Ya, aku ingin melarikan diri."
"Harusnya ada yang menjemputmu."
"Akan ada, Riwa. Tapi aku takut."
"Aku tahu, akan ada. Dan kau tak usah takut. Terbanglah sebelum sayapmu lemah dan mati."
Riwa, mengapa matamu selalu bahagia? Apakah kau tak mengenal takut ketika membuat pelanggaran atas hidup?
Ah, cempaka itu, Run, andai untuk kita. Diam-diam aku pamit tanpa menyelesaikan adegan terakhir.
"La Rundumaaa... bajingan tengik kau!!!"
"Tenang, Pak. Tenang!"
"Apa dia kesurupan?"
"Aku tak tahu."
"Anaknya melarikan diri."
"Pak Maulidun kan punya ilmu, pasti ia dapat menebak siapa yang sudah tidak perawan."
"Tidak perawan?"
"Ya, ada satu gadis yang tidak perawan. Gendangnya pecah berkali-kali." "Astaga! Anaknyakah?"
"Sialan kau La Runduma! Dunia akhirat tak akan kurestui."
"Pegangi dia. Dia syok. Bagaimana ini, apa acara masih dilanjutkan?"
"Lanjutkan saja, istri Moji sudah datang."
"Tapi jumlahnya ganjil. Kalau ia tanya bagaimana?"
"Bilang saja yang satu sakit."

Aku seperti hewan yang lepas dari sangkar. Begitu terpesona melihat alam melintang. Aku berhamburan seperti daun-daun kering, sambil meneriaki namamu. Dalam rindang itu aku lihat matahari mengiris-ngiris pepohonan langsat dan kecapi. Kau tampak bersinar ditimpa cahayanya.
"Lama sekali kau baru datang."
"Masa? Aku ingin mereka semua terjaga dulu dalam resah."
"Mau ke mana kita?"
"Ke tempat yang jauh."
Ah Run, ke manakah ruh usai ia luruh? Kami beranjak tanpa meninggalkan jejak. Tapak-tapak itu begitu ringan. Melangkahi dan meninggalkan segala rahasia yang tak perlu lagi diketahui. Oalah Ayah..., mengapa kau menuduhku tidak perawan?
Diam-diam di sana kisruh. Ada hati yang tidak setuju, ada hati yang cemburu.

Cerpen ini memenangkan Juara Pertama Sayembara Menulis Cerpen Tingkat Nasional 2005 yang diselenggarakan oleh Creative Writing Institute (CWI) bekerja sama dengan Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga.

posted by wulan @ 7:29 AM   1 comments
Tentang Wulan

Name: wulan
Home:
About Me:
See my complete profile
Judul
Arsip
Sahabat
Powered by


Free Blogger Templates
BLOGGER

© wa ode wulan ratna .Template by Isnaini Dot Com